Pemilu dan rasa persatuan kita

Delapan parpol penuhi ambang batas parlemen, PDIP suara terbanyak
Ketua KPU Arief Budiman (ketiga kanan) bersama Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kedua kanan), Kepala Biro Teknis KPU Nur Syarifah (kanan), Komisioner KPU Wahyu Setiawan (ketiga kiri), Hasyim Asyari (kedua kiri) dan Anggota Bawaslu Rahmat Bagja (kiri) mengikuti pengundian dan penetapan penyiaran debat pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (26/12/2018). (ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.)
Pendiri bangsa Mohammad Hatta pernah berpesan: "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung pada bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah akan menjadi nama dan gambar seuntaian pulau di dalam peta".
Oleh Suryanto SSos MSi *)

Masa tahapan kampanye Pemilu 2019 sudah berjalan lebih dari dua bulan. Banyak isu dinamika politik yang menjadi sorotan selama bergulirnya kampanye, terutama Pemilu Presiden.

Pada masa-masa pesta demokrasi seperti ini masyarakat akan digiring untuk menentukan pilihan kandadat yang akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Hiruk pikuk dalam masa kampanye politik menghadapi Pilpres 2019, dalam media sosial kita sudah banyak dibanjiri berbagai macam postingan-postingan tentang politik disertai komentar-komentar tajam dan pedas.

Bahkan, konten kampanye Pilpres yang tidak sehat juga terjadi di media mainstream. Para kandidat dan tentu saja juga para elite pendukungnya bahkan saling serang, fitnah, dan mencari kelemahan satu sama lain.

Sebenarnya, komitmen untuk menjaga agar kontestasi pada Pemilu 2019 berjalan santun dan beradab yang ditegaskan sejumlah unsur pimpinan partai politik yang hadir dalam pengundian dan penetapan nomor urut 14 parpol peserta Pemilu 2019.

Hal itu diperlukan untuk menjaga dan menjamin rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia agar tidak terpecah belah.

Pada saat kampanye, seharusnya tidak saling mencela, menjelekkan, mencemooh, dan menjatuhkan. Terkadang kita sering lupa saat kampanye, kita ini adalah satu, yaitu sebagai bangsa Indonesia dan bersaudara, ini yang harus kita rawat dan kita pelihara.

Namun, pada kenyataanya di berbagai media televisi yang menyajikan debat publik juga tidak kalah membosankan, bahkan kita sudah muak merasakan perdebatan nirsubstansi di ruang publik yang makin sesak dengan narasi dan pembicaraan dari permasalahan politik.

Kita makin ke sini dihadapkan dengan berbagai realitas publik membicarakan politik yang tak tentu, dalam hal esensi yang senantiasa diperdebatkan hanya persoalan fisik, fitnah, kebohongan (hoaks), kebencian, caci maki, dan adu domba.

Padahal, kalau melihat dari segi pendidikan politik yang senantiasa dibangun dalam pendidikan kita bahwa politik itu untuk kemuliaan dalam hal menciptakan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kelayakan dalam bernegara.

Namun, yang kita lihat sekarang perseteruan yang ada senantiasa perihal saling mencemooh antarkubu pilihan masing-masing.

Polarisasi yang selama ini kita takutkan, kemarin sudah menelan korban. Bahkan, jatuhnya korban karena saling membunuh hanya perbedaan pilihan politik.

Seperti kejadian di Madura beberapa waktu lalu, dimulai dengan saling cekcok di media sosial dan berimbas pada sakit hati salah satu pihak.

Jurang pemisah tersebut bermula sejak Pemilihan Umum Presiden 2014, masyarakat kita terbelah menjadi dua kubu yang sampai sekarang berlanjut dan makin dalam jurang pemisah antara kedua kubu tersebut.

Istilah "kecebong" dan "kampret" menjadi wajah buruk polarisasi yang selama ini sudah menggurita di ranah akar rumput.

Keteladanan yang kadang saling hujat, ujaran kebencian yang dicontohkan para tokoh, akhirnya menjadi suatu hal yang dicontoh oleh para pendukung, yakni masyarakat yang dikorbankan akibat politik kekuasaan yang pragmatis.

Lihat saja istilah yang begitu popular di kalangan masyarakat, seperti "politikus sontoloyo", "gendruwo", "wajah Boyolali", "Indonesia akan bubar", "Indonesia akan punah", dan entah apalagi istilah yang akan diciptakan para politikus untuk mencari simpati dan menyerang pihak lawan demi kekuasaan.

Narasi kebencian yang senantiasa menampilkan diri ketika perbedaan pandangan menjadi sebuah landasan untuk saling membenci dan menjatuhkan antarsesama anak bangsa.

Yang patut dipertanyakan kemudian adalah "ke mana selama ini politik kebangsaan yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini?"

Di tengah kondisi yang makin kompleks, kehidupan publik kita tergerus akan pembicaraan politik yang tak pernah hentinya.

Sulit memang kita mencerna kondisi belakangan ini untuk menghindar dari pembahasan politik yang kita harapkan politik membangun.

Akan tetapi, sekarang politik kita sudah penuh dengan berbagai ambisi kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok atau individu semata.

Ketika nalar sebagai masyarakat dipermainkan oleh kalangan elite untuk dipergunakan sebagai peraup suara.

Keresahan bagi kalangan yang sudah muak dengan kondisi politik yang tidak memberikan keteladanan dalam hidup berdemokrasi.

Semestinya beda pilihan telah diterima sebagai sebuah keniscayaan.

Pasalnya, setiap orang akan selalu punya cara pandang dan penilaian yang tidak sama dengan orang lain, termasuk dengan teman atau dengan ayah dan ibu serta anggota keluarga lainnya.

Seharusnya beda pilihan tidak boleh merusak iklim kondusuf yang sejatinya selalu menjadi kebutuhan semua orang.

Pada tahun politik 2019 benar-benar harus mencerminkan pesta demokrasi. Seluruh lapisan masyarakat didorong untuk bergembira melaksanakan kedaulatannya memilih wakil rakyat, serta memilih presiden periode lima tahun mendatang.


Merawat Persatuan

Merawat persatuan pada tahun politik itu tentulah tugas kita semua, tidak hanya masyarakat dan pemerintah, tetapi juga tugas capres dan cawapres yang akan maju sebagai pemimpin nasional.

Mereka semua harus menjadi teladan dan pengontrol tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi partai politik beserta dengan tim suksesnya.

Para capres dan cawapres harus menunjukkan strategi dan cara yang elegan penuh kreativitas dalam melakukan kampanye.

Tidak melakukan kampanye dengan menyerang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan wilayah privasi diri serta keluarga.

Masyarakat harus dididik bagaimana kritis terhadap program kerja, penggunaan anggaran, penyebab masalah terjadi, seperti banjir, penanggulangan bencana, kemiskinan, pengangguran, dan pendidikan.

Para calon harus dapat mempertanggungjawabkan hasil kinerja yang telah dilakukan dengan kompleksnya permasalahan yang ada di negeri ini daripada harus berdebat membicarakan agama atau SARA yang berpotensi membuat kegaduhan dan memecah belah pada saat proses kampanye berlangsung.

Pendiri bangsa Mohammad Hatta pernah berpesan: "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung pada bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah akan menjadi nama dan gambar seuntaian pulau di dalam peta".

Sudah seharusnya pada tahun politik ini kita semua bergandengan tangan membuktikan kepada seluruh masyarakat di Indonesia dan dunia bahwa Indonesia pada Pilpres 2019 merupakan contoh dari pluralnya suatu negara yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan untuk mencapai suatu tatanan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera dengan pemimpin yang adil dan amanah. Semoga!

*) Penulis adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Baca juga: Suara Masyarakat Adat Nusantara di pesta demokrasi
Baca juga: Pendidikan pemilih pengaruhi kesuksesan Pemilu

 
Pewarta:
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019
Prabowo sapa Jamaah muhasabah di Mesjid At Taqwa Sebelumnya

Prabowo sapa Jamaah muhasabah di Mesjid At Taqwa

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS Selanjutnya

Logistik Pilkada untuk Kabupaten Tangerang mulai didistribusikan ke TPS