Bogor (ANTARA News) - Pendiri cabang ilmu matematika-statistik, Karl Pearson (!857-1936), pernah menyatakan bahwa "statistics is the grammar of science" (statistik adalah tata bahasa dari sains).
Kalimat tersebut juga merupakan salah satu kutipan yang disukai oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto.
Dengan mengambil analogi statistik sebagai tata bahasa, maka dapat dipastikan bahwa statistik dimaksudkan sebagai sebuah sarana atau perangkat yang sifatnya netral, yang hanya memaparkan tata kelola atau analisis berdasarkan beragam variabel data dan angka yang tersedia.
BPS sendiri, sebagai sebuah lembaga statistik resmi negara Republik Indonesia, juga telah berulang kali menyatakan perannya yang independen sebagai penyedia data-data bagi negeri.
Kepala BPS Suhariyanto juga tidak lelah-lelahnya menjamin bahwa lembaga yang dipimpinnya selalu independen, serta mengatakan bahwa lembaga statistik resmi setiap negara harus selalu independen.
Saat memberi kata sambutan dalam Lokakarya Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media yang digelar di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, Suhariyanto mengatakan bahwa independensi bagi BPS adalah harga mati.
Menurut Suhariyanto, kalau lembaga statistik resmi suatu negara tidak independen dan dibuat hanya untuk menyenangkan pihak tertentu, maka dinilai lebih baik dibubarkan saja karena tidak ada lagi gunanya.
Kepala BPS mencontohkan kasus yang terjadi di Argentina pada sekitar tahun 2007 lalu, di mana Kepala Negara di negara itu mencopot dan mengganti banyak jajaran badan resmi statistik di sana karena melihat bahwa angka inflasi yang ada selalu dua digit.
Setelah diganti, ternyata mendadak angka yang dikeluarkan badan statistik resmi Argentina mendadak menjadi rendah.
Padahal, berbagai pihak yang membuat perhitungan secara independen menyatakan bahwa tingkat inflasi yang ada sebenarnya jauh lebih tinggi. Bahkan berbagai pihak tersebut menjadi ada yang diancam untuk dikriminalisasikan.
Bila angka inflasi tidak mencerminak hal yang sebenarnya, maka dia juga akan berpengaruh kepada beragam indikator lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan.
Akibatnya, lembaga multilateral seperti IMF mengancam akan memberikan angka merah. Hal ini akan merugikan negara itu karena bila satu angka dicurigai, semua data bisa dicurigai, dan dampaknya juga bakal membuat semakin banyak investor yang enggan untuk menanamkan modalnya di sana.
Suhariyanto juga mencontohkan kasus pada tahun 2017, di mana Yunani yang perekonomiannya ambruk karena jumlah utang yang luar biasa, ternyata ada dugaan bahwa utangnya ternyata bisa jauh lebih besar.
Kepala BPS menyatakan, pihaknya selalu mengikuti berbagai prinsip fundamental antara lain adalah imparsialitas dan akses yang setara, sehingga semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya pada saat yang sama.
Dalam acara bertajuk "Memahami Data Strategis BPS", ia menyatakan bahwa BPS juga memiliki diskusi rutin resmi dengan Forum Masyarakat Statistik (FMS), yang merupakan lembaga nonstruktural dan independen yang mengkritisi dan mengawasi BPS.
Pada saat ini, Ketua FMS pada 2017-2018 adalah Prof Bustanul Arifin serta anggotanya adalah akademisi, pakar, unsur pemerintah, praktisi dan tokoh masyarakat.
Kepala BPS juga menyatakan, data yang dirilis oleh BPS didasarkan kepada metodologi yang harus dipatuhi oleh seluruh negara.
Suhariyanto mengungkapkan pula bahwa ada bentuk pengawasan investigasi oleh lembaga internasional yang datang ke BPS setiap dua kali setahun.
Tahun politik
Kepala BPS menyadari mengenai fenomena maraknya penggunaan data-data statistik akhir-akhir ini yang dinilai sebagai hal yang wajar di tahun politik, tetapi dia memastikan BPS tetap independen.
Suhariyanto mencontohkan mengenai data populasi yang berada di bawah garis kemiskinan per Maret 2018, yaitu sebesar 9,82 persen atau berada di bawah dua digit.
Data tersebut digunakan sejumlah pihak yang menggunakan indikator garis kemiskinan versi Bank Dunia.
Menurut Suhariynto, data mentah yang digunakan BPS dan Bank Dunia adalah sama, tetapi perbedaannya terletak di dalam ketetapan batasan garis kemiskinannya.
Kepala BPS juga menuturkan bahwa data Bank Dunia biasanya digunakan sebagai komparasi atau perbandingan antarnegara.
Ia menyatakan bahwa sebenarnya penurunan pada data kemiskinan per Maret 2018 sebenarnya tidak terlalu cemerlang dibanding dengan sebelum-sebelumnya.
Dia juga menunjukkan bahwa data-data BPS juga menyingkapkan sejumlah hal yang sebenarnya perlu diperhatikan sebagai pekerjaan rumah bagi pemerintah, seperti disparitas antara desa dan kota masih lebar, serta harga beras tetap stabil tetapi cenderung naik.
BPS juga menunjukkan bahwa hingga bulan Oktober pada tahun 2018, sudah tujuh bulan RI mengalami defisit di dalam neraca perdagangan, yang juga menjadi perhatian banyak pihak.
Sementara itu, pembicara lainnya yaitu Deputi Bidang Statistik Sosial Margo Yuwono menjelaskan bahwa metode yang digunakan oleh BPS untuk mengukur kemiskinan sama sejak tahun 1998.
Margo memaparkan, garis kemiskinan terbagi menjadi dua komponen, yaitu pertama garis kemiskinan makanan yaitu setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 kkal per kapita per hari. Sedangkan paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili 52 jenis komoditas.
Komponen kedua adalah garis kemiskinan nonmakanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidkan dan kesehatan, di mana ada 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.
Menurut dia, penting bagi kebijakan pemerintah agar jangan sampai menarik semakin banyak orang ke bawah garis kemiskinan, karena hal yang paling berbahaya adalah bila pendapatan tidak bertambah, tetapi batasan garis kemiskinan juga bertambah seiring dengan meningkatnya inflasi.
Ia juga mengemukakan bahwa garis kemiskinan antardaerah atau antarprovinsi berbeda antara lain karena pola konsumsi serta harga barang dan jasa setiap wilayah berbeda-beda, tetapi metode yang digunakan sama.
Selain itu, Deputi Bidang Statistik Sosial juga mengingatkan bahwa peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan.
Menarik milenial
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa data statistik yang disajikan oleh BPS harus menarik bagi kalangan generasi milenial.
Apalagi, Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa generasi milenial dikenal sebagai `screen mover` atau `screen runner` atau berpindah-pindah dalam membaca, sehingga bisa melompat hingga tiga `screen` (layar yang terbuka) dalam satu kesempatan.
Menurut Bhima, ada beberapa hal yang perlu dihadapi terkait dengan generasi milenial, yang menurut data BPS pada tahun 2018 ini, populasinya mencapai hingga sekitar 90 juta orang.
Sejumlah hal itu, ujar dia, adalah kajian yang menunjukkan bahwa rata-rata fokus atensi atau perhatian dari generasi milenial hanya sekitar 12 detik, bahkan untuk generasi Z (pascamilenial) bisa hanya sekitar 8 detik.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa pada saat ini banyak orang yang lebih suka membaca secara "skimming" atau secara cepat sehingga cenderung hanya membaca intisari atau bahkan hanya judulnya, dan bukan keseluruhan isinya.
Untuk itu, lanjutnya, hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dapat menyajikan data yang menarik bagi kalangan milenial.
Cara pandang seperti itu penting dilakukan pada saat ini, di mana terjadi banyaknya fenomena disorientasi dan hoax, di mana sebagian masyarakat hanya memperoleh data dari yang dibagi di dalam platform medsos, dan bukannya menggunakan sumber resmi atau yang berasal seperti dari data pemberitaan jurnalistik.
Untuk BPS, Bhima memberikan masukan agar tampilan laman resmi BPS semakin menarik, seperti adanya tampilan "highlight" terkait infografis atau data utama yang penting dan menarik di halaman depan laman.
Selain itu, peneliti Indef juga mengungkapkan bahwa ada beberapa data yang perlu untuk terus dimutakhirkan secara berkala di laman resmi BPS, seperti data ekspor impor terakhir, data energi, hingga informasi seperti data pangan baru luas lahan sawah.
Bhima juga mengutarakan harapannya agar BPS ke depannya benar-benar menjadi sumber yang paling termutakhirkan dan terpercaya dalam menampilkan berbagai data yang terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak kepada masyarakat luas.
Dengan demikian, terutama dalam menghadapi masa-masa sensitif seperti tahun politik, BPS juga dapat membantu menyuguhkan data-data ekonomi yang bisa memicu perdebatan yang konstruktif di masyarakat.
Apalagi, pada saat ini perdebatan publik terkait pemilu tahun depan, dalam berbagai hal termasuk bidang ekonomi, disayangkan masih bersifat dangkal dan belum mendalam.
Menurut dia, seharusnya pada saat ini ada diskursus yang lebih sehat dalam membahas isu-isu perekonomian yang diangkat kedua pasanan calon presiden-wakil presiden.
Bila BPS tetap terus dapat benar-benar menjaga independensinya, serta menyadarkan publik terkait data-data ekonomi yang menarik untuk dibahas dan ditelaah lebih lanjut, maka lembaga ini juga akan semakin berperan besar untuk membawa masyarakat Nusantara ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Kalimat tersebut juga merupakan salah satu kutipan yang disukai oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto.
Dengan mengambil analogi statistik sebagai tata bahasa, maka dapat dipastikan bahwa statistik dimaksudkan sebagai sebuah sarana atau perangkat yang sifatnya netral, yang hanya memaparkan tata kelola atau analisis berdasarkan beragam variabel data dan angka yang tersedia.
BPS sendiri, sebagai sebuah lembaga statistik resmi negara Republik Indonesia, juga telah berulang kali menyatakan perannya yang independen sebagai penyedia data-data bagi negeri.
Kepala BPS Suhariyanto juga tidak lelah-lelahnya menjamin bahwa lembaga yang dipimpinnya selalu independen, serta mengatakan bahwa lembaga statistik resmi setiap negara harus selalu independen.
Saat memberi kata sambutan dalam Lokakarya Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media yang digelar di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, Suhariyanto mengatakan bahwa independensi bagi BPS adalah harga mati.
Menurut Suhariyanto, kalau lembaga statistik resmi suatu negara tidak independen dan dibuat hanya untuk menyenangkan pihak tertentu, maka dinilai lebih baik dibubarkan saja karena tidak ada lagi gunanya.
Kepala BPS mencontohkan kasus yang terjadi di Argentina pada sekitar tahun 2007 lalu, di mana Kepala Negara di negara itu mencopot dan mengganti banyak jajaran badan resmi statistik di sana karena melihat bahwa angka inflasi yang ada selalu dua digit.
Setelah diganti, ternyata mendadak angka yang dikeluarkan badan statistik resmi Argentina mendadak menjadi rendah.
Padahal, berbagai pihak yang membuat perhitungan secara independen menyatakan bahwa tingkat inflasi yang ada sebenarnya jauh lebih tinggi. Bahkan berbagai pihak tersebut menjadi ada yang diancam untuk dikriminalisasikan.
Bila angka inflasi tidak mencerminak hal yang sebenarnya, maka dia juga akan berpengaruh kepada beragam indikator lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan.
Akibatnya, lembaga multilateral seperti IMF mengancam akan memberikan angka merah. Hal ini akan merugikan negara itu karena bila satu angka dicurigai, semua data bisa dicurigai, dan dampaknya juga bakal membuat semakin banyak investor yang enggan untuk menanamkan modalnya di sana.
Suhariyanto juga mencontohkan kasus pada tahun 2017, di mana Yunani yang perekonomiannya ambruk karena jumlah utang yang luar biasa, ternyata ada dugaan bahwa utangnya ternyata bisa jauh lebih besar.
Kepala BPS menyatakan, pihaknya selalu mengikuti berbagai prinsip fundamental antara lain adalah imparsialitas dan akses yang setara, sehingga semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya pada saat yang sama.
Dalam acara bertajuk "Memahami Data Strategis BPS", ia menyatakan bahwa BPS juga memiliki diskusi rutin resmi dengan Forum Masyarakat Statistik (FMS), yang merupakan lembaga nonstruktural dan independen yang mengkritisi dan mengawasi BPS.
Pada saat ini, Ketua FMS pada 2017-2018 adalah Prof Bustanul Arifin serta anggotanya adalah akademisi, pakar, unsur pemerintah, praktisi dan tokoh masyarakat.
Kepala BPS juga menyatakan, data yang dirilis oleh BPS didasarkan kepada metodologi yang harus dipatuhi oleh seluruh negara.
Suhariyanto mengungkapkan pula bahwa ada bentuk pengawasan investigasi oleh lembaga internasional yang datang ke BPS setiap dua kali setahun.
Tahun politik
Kepala BPS menyadari mengenai fenomena maraknya penggunaan data-data statistik akhir-akhir ini yang dinilai sebagai hal yang wajar di tahun politik, tetapi dia memastikan BPS tetap independen.
Suhariyanto mencontohkan mengenai data populasi yang berada di bawah garis kemiskinan per Maret 2018, yaitu sebesar 9,82 persen atau berada di bawah dua digit.
Data tersebut digunakan sejumlah pihak yang menggunakan indikator garis kemiskinan versi Bank Dunia.
Menurut Suhariynto, data mentah yang digunakan BPS dan Bank Dunia adalah sama, tetapi perbedaannya terletak di dalam ketetapan batasan garis kemiskinannya.
Kepala BPS juga menuturkan bahwa data Bank Dunia biasanya digunakan sebagai komparasi atau perbandingan antarnegara.
Ia menyatakan bahwa sebenarnya penurunan pada data kemiskinan per Maret 2018 sebenarnya tidak terlalu cemerlang dibanding dengan sebelum-sebelumnya.
Dia juga menunjukkan bahwa data-data BPS juga menyingkapkan sejumlah hal yang sebenarnya perlu diperhatikan sebagai pekerjaan rumah bagi pemerintah, seperti disparitas antara desa dan kota masih lebar, serta harga beras tetap stabil tetapi cenderung naik.
BPS juga menunjukkan bahwa hingga bulan Oktober pada tahun 2018, sudah tujuh bulan RI mengalami defisit di dalam neraca perdagangan, yang juga menjadi perhatian banyak pihak.
Sementara itu, pembicara lainnya yaitu Deputi Bidang Statistik Sosial Margo Yuwono menjelaskan bahwa metode yang digunakan oleh BPS untuk mengukur kemiskinan sama sejak tahun 1998.
Margo memaparkan, garis kemiskinan terbagi menjadi dua komponen, yaitu pertama garis kemiskinan makanan yaitu setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 kkal per kapita per hari. Sedangkan paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili 52 jenis komoditas.
Komponen kedua adalah garis kemiskinan nonmakanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidkan dan kesehatan, di mana ada 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.
Menurut dia, penting bagi kebijakan pemerintah agar jangan sampai menarik semakin banyak orang ke bawah garis kemiskinan, karena hal yang paling berbahaya adalah bila pendapatan tidak bertambah, tetapi batasan garis kemiskinan juga bertambah seiring dengan meningkatnya inflasi.
Ia juga mengemukakan bahwa garis kemiskinan antardaerah atau antarprovinsi berbeda antara lain karena pola konsumsi serta harga barang dan jasa setiap wilayah berbeda-beda, tetapi metode yang digunakan sama.
Selain itu, Deputi Bidang Statistik Sosial juga mengingatkan bahwa peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan.
Menarik milenial
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa data statistik yang disajikan oleh BPS harus menarik bagi kalangan generasi milenial.
Apalagi, Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa generasi milenial dikenal sebagai `screen mover` atau `screen runner` atau berpindah-pindah dalam membaca, sehingga bisa melompat hingga tiga `screen` (layar yang terbuka) dalam satu kesempatan.
Menurut Bhima, ada beberapa hal yang perlu dihadapi terkait dengan generasi milenial, yang menurut data BPS pada tahun 2018 ini, populasinya mencapai hingga sekitar 90 juta orang.
Sejumlah hal itu, ujar dia, adalah kajian yang menunjukkan bahwa rata-rata fokus atensi atau perhatian dari generasi milenial hanya sekitar 12 detik, bahkan untuk generasi Z (pascamilenial) bisa hanya sekitar 8 detik.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa pada saat ini banyak orang yang lebih suka membaca secara "skimming" atau secara cepat sehingga cenderung hanya membaca intisari atau bahkan hanya judulnya, dan bukan keseluruhan isinya.
Untuk itu, lanjutnya, hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dapat menyajikan data yang menarik bagi kalangan milenial.
Cara pandang seperti itu penting dilakukan pada saat ini, di mana terjadi banyaknya fenomena disorientasi dan hoax, di mana sebagian masyarakat hanya memperoleh data dari yang dibagi di dalam platform medsos, dan bukannya menggunakan sumber resmi atau yang berasal seperti dari data pemberitaan jurnalistik.
Untuk BPS, Bhima memberikan masukan agar tampilan laman resmi BPS semakin menarik, seperti adanya tampilan "highlight" terkait infografis atau data utama yang penting dan menarik di halaman depan laman.
Selain itu, peneliti Indef juga mengungkapkan bahwa ada beberapa data yang perlu untuk terus dimutakhirkan secara berkala di laman resmi BPS, seperti data ekspor impor terakhir, data energi, hingga informasi seperti data pangan baru luas lahan sawah.
Bhima juga mengutarakan harapannya agar BPS ke depannya benar-benar menjadi sumber yang paling termutakhirkan dan terpercaya dalam menampilkan berbagai data yang terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak kepada masyarakat luas.
Dengan demikian, terutama dalam menghadapi masa-masa sensitif seperti tahun politik, BPS juga dapat membantu menyuguhkan data-data ekonomi yang bisa memicu perdebatan yang konstruktif di masyarakat.
Apalagi, pada saat ini perdebatan publik terkait pemilu tahun depan, dalam berbagai hal termasuk bidang ekonomi, disayangkan masih bersifat dangkal dan belum mendalam.
Menurut dia, seharusnya pada saat ini ada diskursus yang lebih sehat dalam membahas isu-isu perekonomian yang diangkat kedua pasanan calon presiden-wakil presiden.
Bila BPS tetap terus dapat benar-benar menjaga independensinya, serta menyadarkan publik terkait data-data ekonomi yang menarik untuk dibahas dan ditelaah lebih lanjut, maka lembaga ini juga akan semakin berperan besar untuk membawa masyarakat Nusantara ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018