Jakarta (ANTARA News) - Analis politik Pangi Syarwi Chaniago menilai hingga saat ini kampanye pemilihan presiden masih dangkal gagasan dan isu substantif.
"Narasi kampanye Pilpres 2019 masih jauh dari substansi, sangat dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi yang minim isi," kata Pangi yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, situasi ini menganggu kualitas demokrasi substansial akibat dagelan politik murahan yang tak mutu.
Dia mengatakan, yang terjadi dalam kampanye pilpres sejauh ini justru saling serang dan saling sindir baik oleh kedua pasangan capres-cawapres maupun tim kampanyenya.
"Mereka saling sindir dengan melontarkan diksi dan frasa seperti politik sontoloyo, politik kebohongan, politik gendoruwo, tampang Boyolali, budek/buta, tempe setipis ATM, impor ugal-ugalan dan lain-lain," kata Pangi.
Dia menekankan diksi dan frasa tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan memekakkan ruang opini publik.
Hal ini patut dipertanyakan apakah politik saling sindir akan berdampak positif terhadap citra kandidat atau sebaliknya.
Dia mengatakan narasi kampanye yang dangkal justru mengalihkan perbincangan publik untuk tidak terlalu dalam masuk menyentuh persoalan yang lebih substantif.
Menurut dia, narasi kampanye negatif ini dilontarkan karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir bisa berpotensi merugikan kepentingannya jika perdebatan politik mengarah pada hal-hal yang lebih substansi.
"Sehingga rakyat digiring dengan isu murahan dan persoalan remeh-temeh, konsekuensinya publik teralihkan perhatiannya dari persoalan nyata yang sedang dihadapi rakyat dalam kesehariannya," ujar dia.
Dia menegaskan, strategi politik semacam ini membuat publik tidak akan mendapatkan informasi yang cukup tentang kandidat sehingga pada akhirnya alasan mereka menentukan pilihan hanya berdasarkan sentimen suka atau tidak suka, bukan berbasis visi dan gagasan yang jelas.
"Sangat tidak elok membuat kebisingan dengan memainkan sentimen publik, sementara pada saat yang sama kebisingan tersebut tidak memberi dampak apapun terhadap rakyat," kata dia.
Dia menekankan semestinya perilaku politik Jokowi dan Prabowo sebagai capres berpanduan pada moral dan naluri politik yang baik. Bukan politik saling sindir, menyudutkan dan membuat polemik setiap pernyataan politik lawan.
"Keluarkan dan susunlah diksi yang meneduhkan, menyematkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bertarung. Jangan justru sebaliknya membuat gesekan, memantik polemik, blunder politik sehingga ujungnya menjadi 'bunuh diri' politik," ujar dia.
Pangi mengingatkan pasangan capres-cawapres dan timnya memiliki beban moral untuk menjaga keutuhan bangsa dengan tidak mempertajam pembelahan dan konflik sosial.
"Sehingga sikap politik dari masing-masing kandidat dan timnya harus lebih arif dan bijak dalam membuat pernyataan politik," kata Pangi.
Baca juga: Pengamat: masyarakat jenuh janji dan kontrak politik
"Narasi kampanye Pilpres 2019 masih jauh dari substansi, sangat dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi yang minim isi," kata Pangi yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, situasi ini menganggu kualitas demokrasi substansial akibat dagelan politik murahan yang tak mutu.
Dia mengatakan, yang terjadi dalam kampanye pilpres sejauh ini justru saling serang dan saling sindir baik oleh kedua pasangan capres-cawapres maupun tim kampanyenya.
"Mereka saling sindir dengan melontarkan diksi dan frasa seperti politik sontoloyo, politik kebohongan, politik gendoruwo, tampang Boyolali, budek/buta, tempe setipis ATM, impor ugal-ugalan dan lain-lain," kata Pangi.
Dia menekankan diksi dan frasa tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan memekakkan ruang opini publik.
Hal ini patut dipertanyakan apakah politik saling sindir akan berdampak positif terhadap citra kandidat atau sebaliknya.
Dia mengatakan narasi kampanye yang dangkal justru mengalihkan perbincangan publik untuk tidak terlalu dalam masuk menyentuh persoalan yang lebih substantif.
Menurut dia, narasi kampanye negatif ini dilontarkan karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir bisa berpotensi merugikan kepentingannya jika perdebatan politik mengarah pada hal-hal yang lebih substansi.
"Sehingga rakyat digiring dengan isu murahan dan persoalan remeh-temeh, konsekuensinya publik teralihkan perhatiannya dari persoalan nyata yang sedang dihadapi rakyat dalam kesehariannya," ujar dia.
Dia menegaskan, strategi politik semacam ini membuat publik tidak akan mendapatkan informasi yang cukup tentang kandidat sehingga pada akhirnya alasan mereka menentukan pilihan hanya berdasarkan sentimen suka atau tidak suka, bukan berbasis visi dan gagasan yang jelas.
"Sangat tidak elok membuat kebisingan dengan memainkan sentimen publik, sementara pada saat yang sama kebisingan tersebut tidak memberi dampak apapun terhadap rakyat," kata dia.
Dia menekankan semestinya perilaku politik Jokowi dan Prabowo sebagai capres berpanduan pada moral dan naluri politik yang baik. Bukan politik saling sindir, menyudutkan dan membuat polemik setiap pernyataan politik lawan.
"Keluarkan dan susunlah diksi yang meneduhkan, menyematkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bertarung. Jangan justru sebaliknya membuat gesekan, memantik polemik, blunder politik sehingga ujungnya menjadi 'bunuh diri' politik," ujar dia.
Pangi mengingatkan pasangan capres-cawapres dan timnya memiliki beban moral untuk menjaga keutuhan bangsa dengan tidak mempertajam pembelahan dan konflik sosial.
"Sehingga sikap politik dari masing-masing kandidat dan timnya harus lebih arif dan bijak dalam membuat pernyataan politik," kata Pangi.
Baca juga: Pengamat: masyarakat jenuh janji dan kontrak politik
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018