Literasi siber membantu milenial kritis di tengah polarisasi

Ini kata KPU DKI bagi pemilih sebelum ke TPS pada Rabu
Arsip Foto - Seorang pelajar mengamati kotak suara saat mengikuti sosialisasi pemilih pemula di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (18/10/2016). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta (ANTARA) - Ahli informasi dan transaksi elektronik (ITE) dari Internet Development Institute, Salahuddin mengemukakan literasi siber akan membantu milenial dan generasi Z tetap kritis di tengah polarisasi politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Menurut Salahuddin, literasi siber menjadi penting bagi kedua generasi tersebut mengingat maraknya polarisasi politik di media sosial serta 50 persen pemilih di DKI Jakarta berasal dari dua generasi itu.

"Pemilih kita (DKI Jakarta) dalam pemilu yang akan datang setengahnya adalah gen Z dan milenial," kata Salahuddin saat dihubungi di Jakarta pada Jumat.

Dia mengimbau mereka untuk bersikap lebih kritis. "Kritis itu maksudnya lebih teliti, lebih cermat, lebih mendalami, lebih mengelaborasi apa yang disampaikan oleh para politisi," katanya.

Untuk membangun sikap kritis tersebut, kata Salahuddin, generasi Z dan milenial lebih mudah untuk diajak mendalami literasi siber.

Baca juga: Pakar tekankan penting jaga keamanan agar tak tertipu belanja daring

"Jadi generasi milenial atau gen Z lebih mudah untuk diajak mendalami literasi siber. Kehidupan sosial di dunia siber, mereka lebih mendalam, lebih menguasai," kata Salahuddin.

Pemahaman dunia siber tersebut, kata Salahuddin, diharapkan dimanfaatkan oleh generasi Z dan milenial untuk mendalami literasi siber. Kemudian dapat menjadi radar untuk mendeteksi kebenaran dalam polarisasi politik yang terjadi.

"Sehingga mereka punya radar di dalam dirinya untuk bisa mendeteksi, 'oh ini enggak bener nih'. Jadi konten-konten yang direproduksi dengan cara negatif, dengan cara 'misleading' (menyesatkan), dengan cara memutarbalikan fakta dapat dilihat secara jernih dengan modal literasi siber," kata Salahuddin.

Meskipun potensi hoaks maupun ujaran kebencian diprakirakan berkurang dalam pemilu mendatang, namun konten-konten yang disampaikan secara sopan juga dalam kondisi tertentu tetap berpotensi mengarahkan persepsi.

"Meskipun nanti tidak melalui cara-cara penyebaran hoaks dan ujaran kebencian atau yang sejenisnya, praktik untuk mengarahkan persepsi ini masih akan terjadi," katanya.

Baca juga: MPR: Literasi digital harus diperluas demi akselerasi pembangunan

Penyebarannya dilakukan lewat media arus utama (mainstream) dan media alternatif. "Bikin podcast-podcast gitu ya. Itu kan masih tetap dilakukan," kata dia.

Salahuddin melanjutkan, jika ada persepsi tertentu yang ingin diciptakan, opini yang diciptakan di tengah masyarakat berpotensi "misleading" atau tidak sesuai dengan kebenaran.

"Nah itu yang berbahaya, karena masyarakat nanti teralihkan pandangannya," katanya.

Untuk itu, kata Salahuddin, literasi siber perlu dipahami oleh generasi Z dan milenial untuk bisa jernih membaca isu dan opini yang berkembang seputar Pemilu 2024.

Dengan memiliki literasi siber, generasi Z dan milenial bisa lebih mencermati, lebih mengelaborasi dan mendalami yang disampaikan oleh para politisi. "Apakah itu memang sesuai, apakah janji-janjinya itu memang dapat diterima. Nah itu melalui literasi siber," kata Salahuddin.

Pewarta:
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2023
Polri selidik laporan dugaan bocornya RPH MK soal usia capres Sebelumnya

Polri selidik laporan dugaan bocornya RPH MK soal usia capres

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024 Selanjutnya

KPU Kabupaten Boyolali fasilitasi pengguna kursi roda di simulasi pemungutan suara Pilkada 2024