Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr Marianus Kleden mengatakan, siapapun ingin merapat ke Jokowi untuk menjadi bagian dalam barisan kekuasaan.
"Saat ini memang ramai-ramai mulai merapat ke Jokowi karena kekuasaan itu menggoda. Jadi siapapun cenderung merapat ke dalam barisan kekuasaan," kata Marianus Kleden yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu kepada Antara di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan fenomena merapatnya partai pendukung Prabowo ke Jokowi, termasuk Gerindra sebagai pendukung utama pasangan calon Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019.
Baca juga: Ahli: Ada kemungkinan Gerindra bergabung dengan pemerintah
Baca juga: Ali Thaher sindir PAN agar konsisten di luar pemerintahan
Menurut dia, dengan menangnya Jokowi dalam pemilihan presiden, maka begitu banyak pihak mulai merapat, termasuk kubu oposisi.
Dia mengatakan, pertama sekali Demokrat yang mengutus AHY untuk bertemu dengan Jokowi. Ini sebuah gimmick yang memperlihatkan bahwa Demokrat memang sebelumnya berada pada kubu oposisi tetapi bukan oposisi fanatik.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Eddy Soeparno, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN).
PAN, menurut Marianus, berdalih bahwa pilpres sudah selesai, kubu-kubu pendukung sudah bubar, capres sudah tidak ada lagi, yang ada hanya presiden terpilih.
PAN, ditegaskan Sekjen PAN, bisa menyumbang bagi negara. Entah dengan berada di luar pemerintahan maupun dengan berada di dalam pemerintahan.
Hal yang paling menarik adalah Prabowo sendiri. Sesungguhnya (semula) ada keinginan dari kedua belah pihak, Jokowi dan Prabowo, untuk saling bertemu tetapi enggan merealisasikannya. "Semacam malu-malu tapi mau," katanya.
Pertemuan akhirnya terjadi juga di MRT. Betapa pentingnya pertemuan bisa dilihat dari pihak yang merancang pertemuan, yaitu Kepala BIN Budi Gunawan.
"Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit, pertemuan ini sangat penting demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa," kata Marianus Kleden.
Kondisi ini bila dilihat dari peta perolehan suara, maka Jokowi menang dengan 85.607.362 suara atau 55,50 persen. Sedangkan Prabowo mampu meraih suara sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen.
Jokowi unggul dengan 16.957.123 suara atau 11 persen, tetapi bukan perbedaan suara yang penting.
Baca juga: Pengamat: Tak etis parpol pendukung Prabowo gabung dalam pemerintahan
Baca juga: Koalisi atau oposisi? Djoko Santoso: Dua-duanya bagus
Hal yang lebih penting ialah bahwa Prabowo menang di 13 provinsi dengan wajah Islam yang kuat.
Ke-13 provinsi itu ialah Aceh, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat.
Sementara Jokowi menang di 21 provinsi dengan ideologi nasionalis yang kuat.
"Kontras yang diametral antara kubu Islam dan kubu nasionalis pada awal berdirinya negara ini, seakan-akan mendapat embodiment dalam metamorfosis baru, yaitu kubu Prabowo dan kubu Jokowi," katanya.
Karena itu, BIN sebagai lembaga negara dengan mata paling tajam melihat persoalan ini berkepentingan mengambil langkah agar ketegangan ini menjadi cair.
"Itulah pentingnya keberadaan Kepala BIN Budi Gunawan berada dalam barusan pertemuan di MRT," kata Marianus Kleden.
"Saat ini memang ramai-ramai mulai merapat ke Jokowi karena kekuasaan itu menggoda. Jadi siapapun cenderung merapat ke dalam barisan kekuasaan," kata Marianus Kleden yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu kepada Antara di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan fenomena merapatnya partai pendukung Prabowo ke Jokowi, termasuk Gerindra sebagai pendukung utama pasangan calon Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019.
Baca juga: Ahli: Ada kemungkinan Gerindra bergabung dengan pemerintah
Baca juga: Ali Thaher sindir PAN agar konsisten di luar pemerintahan
Menurut dia, dengan menangnya Jokowi dalam pemilihan presiden, maka begitu banyak pihak mulai merapat, termasuk kubu oposisi.
Dia mengatakan, pertama sekali Demokrat yang mengutus AHY untuk bertemu dengan Jokowi. Ini sebuah gimmick yang memperlihatkan bahwa Demokrat memang sebelumnya berada pada kubu oposisi tetapi bukan oposisi fanatik.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Eddy Soeparno, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN).
PAN, menurut Marianus, berdalih bahwa pilpres sudah selesai, kubu-kubu pendukung sudah bubar, capres sudah tidak ada lagi, yang ada hanya presiden terpilih.
PAN, ditegaskan Sekjen PAN, bisa menyumbang bagi negara. Entah dengan berada di luar pemerintahan maupun dengan berada di dalam pemerintahan.
Hal yang paling menarik adalah Prabowo sendiri. Sesungguhnya (semula) ada keinginan dari kedua belah pihak, Jokowi dan Prabowo, untuk saling bertemu tetapi enggan merealisasikannya. "Semacam malu-malu tapi mau," katanya.
Pertemuan akhirnya terjadi juga di MRT. Betapa pentingnya pertemuan bisa dilihat dari pihak yang merancang pertemuan, yaitu Kepala BIN Budi Gunawan.
"Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit, pertemuan ini sangat penting demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa," kata Marianus Kleden.
Kondisi ini bila dilihat dari peta perolehan suara, maka Jokowi menang dengan 85.607.362 suara atau 55,50 persen. Sedangkan Prabowo mampu meraih suara sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen.
Jokowi unggul dengan 16.957.123 suara atau 11 persen, tetapi bukan perbedaan suara yang penting.
Baca juga: Pengamat: Tak etis parpol pendukung Prabowo gabung dalam pemerintahan
Baca juga: Koalisi atau oposisi? Djoko Santoso: Dua-duanya bagus
Hal yang lebih penting ialah bahwa Prabowo menang di 13 provinsi dengan wajah Islam yang kuat.
Ke-13 provinsi itu ialah Aceh, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat.
Sementara Jokowi menang di 21 provinsi dengan ideologi nasionalis yang kuat.
"Kontras yang diametral antara kubu Islam dan kubu nasionalis pada awal berdirinya negara ini, seakan-akan mendapat embodiment dalam metamorfosis baru, yaitu kubu Prabowo dan kubu Jokowi," katanya.
Karena itu, BIN sebagai lembaga negara dengan mata paling tajam melihat persoalan ini berkepentingan mengambil langkah agar ketegangan ini menjadi cair.
"Itulah pentingnya keberadaan Kepala BIN Budi Gunawan berada dalam barusan pertemuan di MRT," kata Marianus Kleden.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019