Makassar (ANTARA) - Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan isu identitas sangat berpengaruh dan menjadi dominan terhadap penentuan pilihan rakyat pada pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, utamanya pada soal agama dan etnis.
"Hanya saja, di Indonesia belum pernah mempertemukan dua pasangan calon (paslon) pada pemilihan presiden (pilpres) dengan dua agama yang berbeda, sehingga secara teoritis, faktor identitas tidak begitu berpengaruh di Indonesia. Tetapi akan berpengaruh pada kondisi jika pemilu ketat, ada polarisasi identitas agama dan etnis," ujar Djayadi pada Forum Discussion Group (FDG) yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.
Seiring dengan itu, kata dosen Universitas Paramadina ini, hoaks yang sangat berpengaruh di masyarakat adalah identitas dan segala hal yang terkait dengan pribadi kandidat, utamanya isu pilpres yang akan digelar di Indonesia pada 17 April mendatang.
"Ada banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk memilih sekaligus menentukan pilihannya, dan hoaks masih sangat berpengaruh," katanya pula.
Djayadi mengatakan alasan hoaks susah diatasi menjelang pemilu karena adanya komodifikasi, politisasi hoaks dan instrumentalisasi hoaks, sehingga dalam waktu yang singkat menjelang pemilu, hoaks tersebut susah teratasi.
Sebagai upaya preventif dan kuratif, kata dia, usai pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara harus transparan dan netral disampaikan oleh penyelenggara pemilu, serta ditopang dengan ketegasan penegak hukum.
Djayadi juga menyebutkan hasll riset SMRC bahwa sumber berita yang diperoleh masyarakat yang paling pertama adalah televisi, kemudian disusul internet dengan persentase 40 persen. Melalui internet ini, sekitar 35 persen berita dari pengguna WhatsApp, kemudian media sosial lain seperti twitter sekitar lima persen.
"Untuk saat ini berita di TV tidak terlalu berpengaruh, apalagi radio dan koran. Tetapi yang paling berpengaruh itu adalah internet, dan semakin tinggi pengguna internet, maka semakin besar pengaruhnya terhadap masyarakat. Justru hoaks itu banyak ditemukan di internet. Sayangnya, yang berpendidikan tinggi malah lebih banyak percaya hoaks dibanding yang rendah pendidikannya," ujar Djayadi.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Prof Dr Henri Subiakto mengatakan, perlu literasi yang menyeluruh dalam menentukan sikap mengawal banyak hoaks di masyarakat.
"Termasuk menanggapi pemberitaan dari media massa. Jika membaca berita, jangan hanya membaca judulnya, tetapi harus membaca keseluruhan berita," ujar Prof Henri menjawab pertanyaan dari peserta FDG.
"Hanya saja, di Indonesia belum pernah mempertemukan dua pasangan calon (paslon) pada pemilihan presiden (pilpres) dengan dua agama yang berbeda, sehingga secara teoritis, faktor identitas tidak begitu berpengaruh di Indonesia. Tetapi akan berpengaruh pada kondisi jika pemilu ketat, ada polarisasi identitas agama dan etnis," ujar Djayadi pada Forum Discussion Group (FDG) yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.
Seiring dengan itu, kata dosen Universitas Paramadina ini, hoaks yang sangat berpengaruh di masyarakat adalah identitas dan segala hal yang terkait dengan pribadi kandidat, utamanya isu pilpres yang akan digelar di Indonesia pada 17 April mendatang.
"Ada banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk memilih sekaligus menentukan pilihannya, dan hoaks masih sangat berpengaruh," katanya pula.
Djayadi mengatakan alasan hoaks susah diatasi menjelang pemilu karena adanya komodifikasi, politisasi hoaks dan instrumentalisasi hoaks, sehingga dalam waktu yang singkat menjelang pemilu, hoaks tersebut susah teratasi.
Sebagai upaya preventif dan kuratif, kata dia, usai pelaksanaan rekapitulasi perhitungan suara harus transparan dan netral disampaikan oleh penyelenggara pemilu, serta ditopang dengan ketegasan penegak hukum.
Djayadi juga menyebutkan hasll riset SMRC bahwa sumber berita yang diperoleh masyarakat yang paling pertama adalah televisi, kemudian disusul internet dengan persentase 40 persen. Melalui internet ini, sekitar 35 persen berita dari pengguna WhatsApp, kemudian media sosial lain seperti twitter sekitar lima persen.
"Untuk saat ini berita di TV tidak terlalu berpengaruh, apalagi radio dan koran. Tetapi yang paling berpengaruh itu adalah internet, dan semakin tinggi pengguna internet, maka semakin besar pengaruhnya terhadap masyarakat. Justru hoaks itu banyak ditemukan di internet. Sayangnya, yang berpendidikan tinggi malah lebih banyak percaya hoaks dibanding yang rendah pendidikannya," ujar Djayadi.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Prof Dr Henri Subiakto mengatakan, perlu literasi yang menyeluruh dalam menentukan sikap mengawal banyak hoaks di masyarakat.
"Termasuk menanggapi pemberitaan dari media massa. Jika membaca berita, jangan hanya membaca judulnya, tetapi harus membaca keseluruhan berita," ujar Prof Henri menjawab pertanyaan dari peserta FDG.
Pewarta: Laode Masrafi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019