Nasib politikus pindah partai di negara maju

Delapan parpol penuhi ambang batas parlemen, PDIP suara terbanyak
Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (kiri bawah), Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso (kanan bawah) dan kader baru Partai Berkarya Titiek Soerharto (tengah bawah) menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers di Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (11/6/2018). Dalam jumpa pers tersebut, kader senior Partai Golkar Siti Hediyati Hariyadi atau Titiek Soeharto mendeklarasikan diri pindah menjadi kader Partai Berkarya. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
Jakarta (ANTARA News) - Perdana Menteri Inggris Raya pada era sekitar Perang Dunia ke-II, Winston Churchill, pernah menyatakan bahwa "some men change their party for the sake of their principles; others their principles for the sake of their party".

(Beberapa orang mengubah partai mereka karena mempertahankan prinsip mereka; yang lainnya mengubah prinsip mereka untuk mempertahankan partai mereka).

Winston Churchill merupakan salah satu sosok yang mengetahui psikologis tentang seseorang yang berpindah partai. Pasalnya, dia sendiri pernah berubah partai dari Konservatif ke Liberal pada tahun 1904, sebelum masuk kembali ke Konservatif dua dekade mendatang.

Di negara-negara maju yang tradisi pemilihan umumnya sudah mapan dan dapat ditelusuri hingga ratusan tahun yang lalu, memang kerap ditemui fenomena dari politisi yang berpindah partai.

Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada masa lampau, tetapi juga masih kerap terjadi bahkan hingga pada masa kontemporer atau tepatnya pada abad ke-21 yang kerap dikenal sebagai era digitalisasi ini.

Misalnya, di Negeri Ratu Elizabeth itu pada tahun 2001, dikenal nama Paul Marsden, politisi Partai Buruh yang berpindah ke Partai Liberal Demokrat karena tidak sepakat dengan Partai Buruh yang mendukung perang di Afghanistan.

Empat tahun kemudian, ada pula Robert Jackson, yang berpindah dari Partai Konservatif ke Partai Buruh karena tidak sepakat dengan kebijakan Konservatif dalam hal penghematan yang dilakukan terkait dengan pendanaan di institusi pendidikan tinggi negara tersebut.

Kemudian ada pula Brian Sedgemore (Buruh ke Liberal Demokrat), dengan alasan tidak senang dengan arahan kepemimpinan Partai Buruh ketika itu. Alasan yang sama juga ditemui dari sosok Quentin Davis (Konservatif ke Buruh), yang berpindah pada 2007 karena tidak senang dengan arah kepemimpinan Partai Konservatif.

Pada tahun 2014, ada dua politisi Konservatif yang berpindah ke Partai UKIP, yaitu partai nasionalis yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa.

Setelah masyarakat Inggris menggelar referendum yang menghasilkan keputusan pro-Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa), kedua politisi itu berpindah kembali ke Konservatif.

Tidak hanya di Inggris, negara maju yang memiliki tradisi demokrasi mapan seperti Amerika Serikat juga mengalami banyaknya anggota legislatif yang berpindah haluan partai.

Pada abad ke-21 ini, dapat disebut nama Matthew Martinez, anggota DPR RI dari Negara Bagian California yang berpindah dari Demokrat ke Republik, karena dia kalah dalam pemilihan pendahuluan partai tersebut untuk Pemilu 2000.

Selain itu, ada pula tiga politisi Partai Demokrat yang berpindah ke Republik pada dekade 2000-an, salah satunya adalah Ralph Hall yang pada 2004 berpindah parpol pada usia 80 tahun! Alasannya? salah satunya karena partainya dinilai terlalu mengeritik Presiden George W Bush yang berasal dari Republik.

Baik Ralph Hall maupun Presiden Bush, keduanya berasal dari wilayah yang sama, yaitu Texas yang terletak di daerah selatan Amerika Serikat.

Selanjutnya ada pula Rodney Alexander (dari Louisiana) yang pindah parpol pada 2004, dan Parker Griffith (Alabama), yang meninggalkan Demokrat pada 2009.

Kesamaan dari Ralph Hall, Rodney Alexander, dan Parker Griffith, adalah ketiganya sama-sama berasal dari daerah selatan AS, yang terkenal selama beberapa dekade terakhir ini telah menjadi daerah yang solid bagi kubu Partai Republik yang terkenal konservatif.



Politik regional

Berdasarkan artikel What happens to party-switching politicians karya jurnalis Suzy Khimm yang diturunkan media Washington Post di laman resmi mereka pada 29 Agustus 2012, diketahui bahwa perubahan politik regional menjadi faktor yang paling utama.

Menurut pakar ilmu politik AS, Antoine Yoshinaka, dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa kecenderungan kawasan selatan AS (yang juga kerap dikenal sebagai "Bible Belt" itu), mulai terjadi sejak era Presiden Reagan pada tahun 1980-an dan berlanjut ke dekade 1990-an.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa bila di suatu daerah telah terbentuk kubu yang solid dari sebuah partai (katakanlah Partai A), maka ada kemungkinan bahwa terdapat politisi dari partai B, C, atau lainnya, yang akan berpindah haluan dan masuk ke dalam Partai A.

Namun, memang alasan seseorang untuk berpindah parpol memang bukan hanya karena pengaruh kecenderungan kawasan semata.

Sebagaimana diulas oleh Louis Jacobson dalam artikel di media tata kelola pemerintahan AS, governing.com pada tahun 2013, alasan lainnya politisi berpindah partai adalah karena sang politisi tersebut telah memiliki kekayaan yang luar biasa besar sehingga tidak lagi bergantung kepada penyandang dana yang terkait dengan parpol.

Hal itu misalnya dapat dilihat pada miliarder Bloomberg, yang berpindah dari Demokrat ke Republik untuk mencalonkan diri sebagai walikota New York City pada 2001, sebelum kemudian berubah menjadi politisi independen (tidak terikat partai).

Salah satu hal menarik yang ditemukan dari berbagai politisi yang pindah partai di negara-negara maju tersebut, mereka kerap memiliki karier politik yang pendek setelah berpindah parpol, yaitu bertahan di parlemen hanya beberapa tahun.

Namun, juga ada pengecualian terkait dengan sejumlah orang seperti Ralph Hall, yang bisa bertahan di kursinya di DPR AS selama satu dekade hingga 2014, setelah dirinya berpindah keanggotaan dari Demokrat ke Republik. Demikian pula dengan Rodney Alexander, yang juga bisa bertahan hingga sembilan tahun pada tahun 2004 hingga 2013.

Bagaimana halnya dengan politisi di Indonesia pada Pemilu 2019 kali ini, Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menemukan lebih dari 20 orang calon legislatif yang berpindah partai.

Di antara nama-nama tersebut, dapat ditemukan sejumlah selebriti seperti Okky Asokawati (pindah dari PPP ke Partai Nasdem), Krisna Mukti (pindah dari PKB ke Partai Nasdem), dan Venna Malinda (pindah dari Partai Demokrat ke Partai Nasdem).

Nasib para politisi caleg petahana yang berpindah partai tersebut di Indonesia memang baru diketahui setelah hasil Pemilu 2019 diumumkan, apakah mereka berhasil bertahan di kursinya masing-masing, atau malah terpental dari lingkaran Senayan.

Yang jelas, penelitian yang dilakukan pakar ilmu politik Antoine Yoshinaka, yang ditulis bersama-sama dengan Christian Grose, menemukan bahwa secara rata-rata, politikus yang berpindah partai akan kehilangan sekitar tujuh persen suara setelah mereka berpindah partai.*


Baca juga: Partai baru berjuang keras lewati PT empat persen

Baca juga: Zainuddin: empat alasan politisi pindah partai



 



 
Pewarta:
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Sandiaga akan meningkatkan kesejahteraan guru PAUD Sebelumnya

Sandiaga akan meningkatkan kesejahteraan guru PAUD

Herman Deru-Cik Ujang raih 2,2 juta suara pada Pilgub Sumsel 2024 Selanjutnya

Herman Deru-Cik Ujang raih 2,2 juta suara pada Pilgub Sumsel 2024