Ini sudah diatur dalam undang-undang dan di Peraturan MK (PMK)
Jakarta (ANTARA) - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa dokumen berupa surat atau tulisan merupakan bukti yang menjadi pertimbangan utama bagi Mahkamah ketika memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi termasuk sengketa Pileg.
"Ini sudah diatur dalam undang-undang dan di Peraturan MK (PMK)," ujar Arief di ruang sidang Panel I Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Arief kemudian menjelaskan dalam perkara pidana saksi memang lebih diutamakan, namun hal tersebut tidak berlaku dalam perkara konstitusi.
"Dalam perkara pidana yang diletakan paling atas itu namanya saksi yang melihat yang mendengar, yang mengalami secara langsung, tapi dalam perkara PHPU yang diletakan yang paling atas adalah surat atau tulisan. Keberadaan saksi itu di bawah," jelas Arief.
Oleh sebab itu Arief mengatakan sesungguhnya pihak yang berperkara tidak harus menghadirkan saksi, bila memang tidak relevan untuk masing-masing perkara.
Perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ini dikatakan Arief termasuk jenis speedy trial karena waktu penyelesaiannya dibatasi hanya 30 hari.
Oleh sebab itu saksi yang hendak dihadirkan oleh seluruh pihak yang berperkara juga akan dibatasi oleh Mahkamah.
"Kalau harus menghadirkan saksi yang melihat, mendengar banyak sekali, satu, pemohonnya pada mati, hakimnya ya juga mati semua," tutur Arief.
Hal serupa sebelumnya juga disampaikan oleh Hakim Saldi Isra yang mengimbau agar tiap pihak yang berperkara lebih mengutamakan dokumen daripada saksi yang rencananya akan dihadirkan dalam sidang pembuktian PHPU.
"Kalau bisa malah tidak perlu ada saksi, kecuali kalau memang betul-betul berkualitas, dan Mahkamah akan memberikan prioritas kepada pemohon dan termohon (KPU) untuk menghadirkan saksi karena kedua pihak ini yang berhadapan dalam sengketa," ujar Saldi.
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019