Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur, Dr Ahmad Atang, MSi mengatakan, sikap Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno yang enggan membawa hasil pilpres ke ranah hukum telah mendegradasi lembaga hukum.
Bahkan sikap tersebut justru akan menciptakan preseden buruk terhadap penegakan hukum itu sendiri, kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Selasa, terkait sikap BPN yang menolak mengadukan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
KPU RI pada Selasa (21/5) dini hari telah mengumumkan bahwa pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin meraih suara terbanyak sebagai calon presiden-wakil presiden dengan mengumpulkan 50,55 persen dari pasangan calon 02 Prabowo-Sandiaga 40,55 persen.
Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak untuk mengadu kecurangan pemilu ke MK, dengan alasan lembaga peradilan pemilu itu dinilai sudah tidak adil dalam mengadili sengketa pemilu.
"Penolakan paslon 02 untuk tidak membawa masalah ini di rana hukum dengan argumen tersebut di atas, patut disayangkan karena mereka telah mendegradasikan lembaga hukum dan justru akan menciptakan preseden buruk terhadap penegakan hukum itu sendiri," katanya.
Dia menambahkan, bentuk penolakan hasil pilpres memang telah didengungkan jauh hari, namun kecurigaan dan kecurangan tersebut harus dibuktikan sehingga dapat diuji secara hukum.
Namun jika proses hukum dianggap tidak memadai maka dapat dipastikan bahwa 02 sesungguhnya tidak memiliki bukti yang kuat atas dugaan kecurangan.
"Atau paslon 02 sengaja menghindar dari proses hukum agar kekalahan tidak terlalu beruntun yang dimulai dari hasil hitung cepat, perhitungan manual dan apabila kalah lagi melalui jalur hukum," kata Ahmad Atang.
Sementara pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (UNdana) Kupang, Dr Johanes Tuba Helan mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) diadakan berdasarkan konstitusi yang dibentuk oleh lembaga politik dan hakimnya juga diseleksi DPR dan preside.
Karena itu politisi harus percaya bahwa Mahkamah Konstitusi yang dibentuk oleh mereka sendiri bisa bertindak adil dalam menyelesaikan sengketa pemilu.
"Jika politisi yang membuat MK tidak percaya, bagaimana dengan kita warga negara biasa," kata Johanes Tuba Helan.
Baca juga: Pengamat: BPN tak percaya diri ajukan sengketa ke MK
Baca juga: Saksi BPN bilang tak akan tandatangani rekapitulasi suara
Baca juga: Bawaslu: laporan BPN Prabowo-Sandi tidak dapat diterima
Bahkan sikap tersebut justru akan menciptakan preseden buruk terhadap penegakan hukum itu sendiri, kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Selasa, terkait sikap BPN yang menolak mengadukan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
KPU RI pada Selasa (21/5) dini hari telah mengumumkan bahwa pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin meraih suara terbanyak sebagai calon presiden-wakil presiden dengan mengumpulkan 50,55 persen dari pasangan calon 02 Prabowo-Sandiaga 40,55 persen.
Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak untuk mengadu kecurangan pemilu ke MK, dengan alasan lembaga peradilan pemilu itu dinilai sudah tidak adil dalam mengadili sengketa pemilu.
"Penolakan paslon 02 untuk tidak membawa masalah ini di rana hukum dengan argumen tersebut di atas, patut disayangkan karena mereka telah mendegradasikan lembaga hukum dan justru akan menciptakan preseden buruk terhadap penegakan hukum itu sendiri," katanya.
Dia menambahkan, bentuk penolakan hasil pilpres memang telah didengungkan jauh hari, namun kecurigaan dan kecurangan tersebut harus dibuktikan sehingga dapat diuji secara hukum.
Namun jika proses hukum dianggap tidak memadai maka dapat dipastikan bahwa 02 sesungguhnya tidak memiliki bukti yang kuat atas dugaan kecurangan.
"Atau paslon 02 sengaja menghindar dari proses hukum agar kekalahan tidak terlalu beruntun yang dimulai dari hasil hitung cepat, perhitungan manual dan apabila kalah lagi melalui jalur hukum," kata Ahmad Atang.
Sementara pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (UNdana) Kupang, Dr Johanes Tuba Helan mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) diadakan berdasarkan konstitusi yang dibentuk oleh lembaga politik dan hakimnya juga diseleksi DPR dan preside.
Karena itu politisi harus percaya bahwa Mahkamah Konstitusi yang dibentuk oleh mereka sendiri bisa bertindak adil dalam menyelesaikan sengketa pemilu.
"Jika politisi yang membuat MK tidak percaya, bagaimana dengan kita warga negara biasa," kata Johanes Tuba Helan.
Baca juga: Pengamat: BPN tak percaya diri ajukan sengketa ke MK
Baca juga: Saksi BPN bilang tak akan tandatangani rekapitulasi suara
Baca juga: Bawaslu: laporan BPN Prabowo-Sandi tidak dapat diterima
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019