Kupang (ANTARA) -
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang, MSi mengatakan rekonsiliasi diperlukan untuk memulihkan kembali persahabatan yang tercabik akibat perbedaan pilihan politik pada Pilpres 2019.
"Rekonsiliasi harus dilakukan tanpa syarat dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan," kata Ahmat Atang kepada Antara di Kupang, Senin, terkait perlunya rekonsiliasi nasional pasca-Pemilu 2019.
Pelaksanaan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif telah selesai. KPU akan mengumumkan dan menetapkan hasilnya pada 22-25 Mei 2019.
Namun, kata dia, nuansa perbedaan yang tercipta akibat dukungan politik pilpres mulai terasa sebelum 17 April, dan hingga pascapemilu tensinya masih relatif tinggi khususnya menjelang pengumuman hasil pileg dan pilpres pada 22 Mei.
Menurut Ahmad Atang, kondisi ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak belum siap menang dan siap kalah.
"Perbedaan kian tajam dengan wacana pengerahan massa seperti 'pople power', gerakan rakyat terus dikumandangkan untuk merespons hasil pemilu, sehingga menimbulkan eskalasi politik semakin memanas," katanya.
Dia mengatakan hal ini mestinya tidak perlu terjadi jika elite bangsa ini memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi, dan tidak memobilisasi rakyat untuk memuaskan hasrat berkuasa.
"Polarisasi kepentingan politik dengan menyulut emosi massa justru menggambarkan praktik demokrasi kita labil, demokrasi kita berjalan tanpa pola, sehingga menimbulkan konflik tanpa berkesudahan," katanya.
Oleh karena itu, menurut mantan Pembantu Rektor I UMK itu, kondisi ini tidak bisa dibiarkan tanpa kendali yang berakibat adanya amukan massa. Jalan damai harus segera ditempuh melalui pola rekonsiliasi.
Dia mengatakan rekonsiliasi harus didasarkan pada kepentingan bangsa, bahwa kepentingan kekuasaan jangan sampai mengorbankan negara.
Rekonsiliasi juga harus dilakukan tanpa syarat dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Rekonsiliasi yang abadi harus dilakukan secara ikhlas dengan merelakan sikap ego untuk ditinggalkan. Rekonsiliasi harus dimulai dari atas yakni para elite politik, elite agama, dan elite yang berkuasa.
Menurut dia, jika ini dilakukan maka harapan akan Indonesia yang damai akan terwujud, namun jika ini tidak dilakukan, maka bahaya akan mengancam keutuhan bangsa.
Massa akan bergerak sendiri, institusi demokrasi seperti KPU, Bawaslu, dan partai politik menjadi sasaran massa.
"Jika hal ini yang terjadi maka para elite harus bertanggung jawab atas kondisi disasosiasif ini," katanya.
Pengajar ilmu politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu menambahkan, pemilu telah selesai, menang dan kalah adalah soal takdir maka terimalah takdir sebagai bagian dari jalan hidup bukan menyalahkan pihak lain dengan melawan takdir.
"Sebagai elite politik harus memperlihatkan perilaku sebagai seorang negarawan bukan sebagai bandit demokrasi," kata Ahmad Atang.
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang, MSi mengatakan rekonsiliasi diperlukan untuk memulihkan kembali persahabatan yang tercabik akibat perbedaan pilihan politik pada Pilpres 2019.
"Rekonsiliasi harus dilakukan tanpa syarat dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan," kata Ahmat Atang kepada Antara di Kupang, Senin, terkait perlunya rekonsiliasi nasional pasca-Pemilu 2019.
Pelaksanaan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif telah selesai. KPU akan mengumumkan dan menetapkan hasilnya pada 22-25 Mei 2019.
Namun, kata dia, nuansa perbedaan yang tercipta akibat dukungan politik pilpres mulai terasa sebelum 17 April, dan hingga pascapemilu tensinya masih relatif tinggi khususnya menjelang pengumuman hasil pileg dan pilpres pada 22 Mei.
Menurut Ahmad Atang, kondisi ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak belum siap menang dan siap kalah.
"Perbedaan kian tajam dengan wacana pengerahan massa seperti 'pople power', gerakan rakyat terus dikumandangkan untuk merespons hasil pemilu, sehingga menimbulkan eskalasi politik semakin memanas," katanya.
Dia mengatakan hal ini mestinya tidak perlu terjadi jika elite bangsa ini memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi, dan tidak memobilisasi rakyat untuk memuaskan hasrat berkuasa.
"Polarisasi kepentingan politik dengan menyulut emosi massa justru menggambarkan praktik demokrasi kita labil, demokrasi kita berjalan tanpa pola, sehingga menimbulkan konflik tanpa berkesudahan," katanya.
Oleh karena itu, menurut mantan Pembantu Rektor I UMK itu, kondisi ini tidak bisa dibiarkan tanpa kendali yang berakibat adanya amukan massa. Jalan damai harus segera ditempuh melalui pola rekonsiliasi.
Dia mengatakan rekonsiliasi harus didasarkan pada kepentingan bangsa, bahwa kepentingan kekuasaan jangan sampai mengorbankan negara.
Rekonsiliasi juga harus dilakukan tanpa syarat dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Rekonsiliasi yang abadi harus dilakukan secara ikhlas dengan merelakan sikap ego untuk ditinggalkan. Rekonsiliasi harus dimulai dari atas yakni para elite politik, elite agama, dan elite yang berkuasa.
Menurut dia, jika ini dilakukan maka harapan akan Indonesia yang damai akan terwujud, namun jika ini tidak dilakukan, maka bahaya akan mengancam keutuhan bangsa.
Massa akan bergerak sendiri, institusi demokrasi seperti KPU, Bawaslu, dan partai politik menjadi sasaran massa.
"Jika hal ini yang terjadi maka para elite harus bertanggung jawab atas kondisi disasosiasif ini," katanya.
Pengajar ilmu politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu menambahkan, pemilu telah selesai, menang dan kalah adalah soal takdir maka terimalah takdir sebagai bagian dari jalan hidup bukan menyalahkan pihak lain dengan melawan takdir.
"Sebagai elite politik harus memperlihatkan perilaku sebagai seorang negarawan bukan sebagai bandit demokrasi," kata Ahmad Atang.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019