Jakarta (ANTARA) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai dua calon presiden yang ikut kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 belum mengungkapkan kerangka besar yang jelas mengenai bangunan sistem politik, pemerintahan dan demokrasi Indonesia ke depan.
"Artinya apakah kerangka besar sistem politik dan ketatanegaraan seperti diamanatkan UUD 1945 hasil amandemen 1999-2002 yang dimiliki bangsa saat ini sudah dianggap baik dan ideal sehingga bersifat final?," kata Syamsuddin Haris dalam diskusi bertajuk "Evaluasi Program Capres Bidang Politik dan Ekonomi", di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan apabila para capres dan tim sukses menilai sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku saat ini sudah baik dan ideal maka tidak ada yang bisa diharapkan dari kontestasi pemilu ini.
Hal itu menurut dia karena sistem demokrasi yang seharusnya berorientasi kedaulatan rakyat, cenderung lebih berorientasi kepentingan elit politik.
"Oligarki politik dan ekonomi telah membajak demokrasi hampir di semua lini dan tingkat pemerintahan. Lalu korupsi politik melanda lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif membatasi kesempatan rakyat untuk turut menikmati pembangunan dan merasakan kesejahteraan," ujarnya.
Syamsuddin menjelaskan hal itu karena ada masalah institusional dalam desain dan praktik demokrasi, pemerintahan serta ketatanegaraan yang seharusnya diidentifikasi para capres serta timses untuk dicari solusi mengatasi dan menyelesaikannya.
Dia menilai masalah institusional tersebut bisa saja berupa produk amandemen konstitusi yang tambal-sulam, bisa pula sistem perwakilan politik yang rancu dan sistem pemilu yang mendorong politik uang dan korupsi politik dan sistem multipartai ekstrim yang tidak kompatibel dengan sistem presidensial.
"Pada tingkat publik seringkali muncul perdebatan tentang perlunya amandemen kembali konstitusi, menghidupkan kembali GBHN namun tidak muncul sebagai isu yang penting dalam visi misi capres di bidang politik," katanya.
Dia menilai bangsa Indonesia membutuhkan visi politik para capres tentang kualitas kehidupan politik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan agar ke depan bisa disempurnakan dengan baik.
"Artinya apakah kerangka besar sistem politik dan ketatanegaraan seperti diamanatkan UUD 1945 hasil amandemen 1999-2002 yang dimiliki bangsa saat ini sudah dianggap baik dan ideal sehingga bersifat final?," kata Syamsuddin Haris dalam diskusi bertajuk "Evaluasi Program Capres Bidang Politik dan Ekonomi", di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan apabila para capres dan tim sukses menilai sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku saat ini sudah baik dan ideal maka tidak ada yang bisa diharapkan dari kontestasi pemilu ini.
Hal itu menurut dia karena sistem demokrasi yang seharusnya berorientasi kedaulatan rakyat, cenderung lebih berorientasi kepentingan elit politik.
"Oligarki politik dan ekonomi telah membajak demokrasi hampir di semua lini dan tingkat pemerintahan. Lalu korupsi politik melanda lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif membatasi kesempatan rakyat untuk turut menikmati pembangunan dan merasakan kesejahteraan," ujarnya.
Syamsuddin menjelaskan hal itu karena ada masalah institusional dalam desain dan praktik demokrasi, pemerintahan serta ketatanegaraan yang seharusnya diidentifikasi para capres serta timses untuk dicari solusi mengatasi dan menyelesaikannya.
Dia menilai masalah institusional tersebut bisa saja berupa produk amandemen konstitusi yang tambal-sulam, bisa pula sistem perwakilan politik yang rancu dan sistem pemilu yang mendorong politik uang dan korupsi politik dan sistem multipartai ekstrim yang tidak kompatibel dengan sistem presidensial.
"Pada tingkat publik seringkali muncul perdebatan tentang perlunya amandemen kembali konstitusi, menghidupkan kembali GBHN namun tidak muncul sebagai isu yang penting dalam visi misi capres di bidang politik," katanya.
Dia menilai bangsa Indonesia membutuhkan visi politik para capres tentang kualitas kehidupan politik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan agar ke depan bisa disempurnakan dengan baik.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019