Oleh Arnaz Firman
Jakarta (ANTARA News) - Tanpa terasa hari pencoblosan surat suara untuk pemilihan calon presiden-calon wakil presiden serta calon anggota legislatif mulai dari DPD, DPR serta DPRD provinsi, kota serta kabupaten sudah di "depan mata" atau sekitar 55 hari lagi yakni pada Hari Rabu 17 April 2019.
Tidak kurang dari 192,8 juta calon pemilih diharapkan bakal mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) untuk memanfaatkan hak suaranya guna memilih kepala negara masa bakti 2019-2024 dan juga para calon anggota lembaga legislatif.
Para pejabat lembaga-lembaga negara ini tentu diharapkan benar-benar menjadi abdi rakyat yang amanah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasti telah "memeras keringat" sejak pagi hingga malam hari demi menyukseskan pesta demokrasi ini.
KPU pusat, KPU provinsi, hingga kabupaten dan kota sudah sejak lama menghitung jumlah calon pemilih, jumlah calon anggota legislatif, menghitung dan memerintahkan pencetakan surat suara.
Selain itu, KPU harus "beradu otot" dengan sebagian besar dari 16 partai politik skala nasional dan empat parpol lokal yang "tak tahu diri dan nekat" karena telah mengajukan puluhan bekas narapidana korupsi untuk menjadi calon anggota DPD RI, DPRD provinsi, kota serta kabupaten.
Sementara itu, menjelang akhir bulan Februari ini, sekitar 275.000 calon pemilih yang diperkirakan tidak akan bisa mencoblos di TPS di sekitar rumahnya karena berbagai alasan seperti sedang belajar, kuliah atau dirawat akibat sakit, juga yang tak bisa menggunakan hak pilihnya karena belum mengurus surat pindahnya yang lazim disebut surat A5.
Akibatnya, KPU masih harus "banting tulang" supaya pesta demokrasi yang jujur, adil dan rahasia ini bisa benar-benar sukses.
Jika masalah-masalah yang bersifat teknis ini sudah benar-benar tuntas maka ada satu pertanyaan yang amat mendasar yang harus dipecahkan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Persoalan itu adalah apakah semua calon pemilih sudah benar-benar tahu gambar siapa yang bakal ditusuknya pada Rabu 27 April tersebut?
Pertama kalinya
Pesta demokrasi ini adalah untuk pertama kalinya bagi Rakyat Indonesia yang harus datang ke TPS untuk sekaligus mencoblos lima kali.
Pada pemilu 2014, rakyat harus dua kali mencoblos yaitu memilih presiden dan wakil presiden dan baru kemudian mencoblos gambar-gambar calon anggota legislatif.
Sedangkan pada 17 April 2019, setiap pemilih akan sekaligus mendapat beberapa surat suara. Jadi bisa dibayangkan betapa repotnya seorang calon pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya pada 17 April nanti.
Untuk warga DKI Jakarta yang tidak memiliki DPRD kota ataupun kabupaten maka tidak bakal mencoblos gambar calon anggota DPRD kota dan kabupaten.
Bagi rakyat atau pemilih yang paling gampang adalah memilih calon presiden dan calon wakil presiden, karena hanya ada dua pasangan yaitu 01 untuk Joko Wododo-Ma`ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Kedua pasangan ini sudah hilir mudik ke begitu banyak daerah pemilihan suara. Dengan gaya dan caranya masing-masing mereka berusaha mencari simpati puluhan juta calon pemilih.
Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan 01 dengan penuh gegap gempita mendatangi ratusan kota dan kabupaten.
Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga tak kalah "galaknya" mendatangi pesantren, pasar dan tempat-tempat lainnya agar bisa menarik perhatian para pemilih.
Kalau kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden ini sudah begitu aktif bahkan agresif untuk mencoba meraih suara jutaan calon pemilih maka bagaimana dengan calon-caloni legislator mulai dari DPD, DPR hingga DPRD?
Kampanye calon legislator bisa dibilang kalah jauh jika dibandingkan dengan kedua pasangan capres dan cawapres tersebut.
Capres-cawapres bisa dibilang bergelimang sekaligus menghabiskan puluhan miliar rupiah dalam meraih dukungan calon pemilihnya.
Sementara itu, di lain pihak hanya beberapa calon anggota legislatif yang "padat modal" sehingga mampu menjangkau demikian banyak daerah pemilihan.
Dengan demikian maka masih banyak calon anggota DPD RI, DPR RI serta DPRD yang harus mengerahkan segala daya dan dananya agar bisa "mencuri hati" rakyat.
Waktu pemilihan tinggal puluhan hari lagi sehingga bakal gemuruhkah kampanye calon anggota legislatif?
Bagi rakyat, pemilihan presiden dan wakil presiden bisa lebih menarik karena hampir setiap hari tampang alias muka mereka relatif lebih gampang dilihat. Sebaliknya foto calon wakil rakyat amat sulit ditemukan.
Pilih apa?
Pesta demokrasi ini amat penting tidak hanya bagi 192,8 juta pemilih tapi juga untuk 262 juta rakyat Indonesia. Jadi idealnya seluruh pemilih menggunakan hak pilihnya.
Karena itu, KPU, Kementerian Dalam Negeri pada hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara harus aktif untuk menggelorakan semangat calon pemilih untuk memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan hak- hak politik mereka.
Jajaran pemerintahan mulai dari tingkat teratas hingga terbawah harus maksimal mengajak rakyat agar mencoblos tanpa ragu sedikitpun juga.
Walaupun ada kelompok golongan putih (golput) yang sengaja tak memilih, KPU dan jajaran pemerintahan harus aktif supaya tak ada lagi orang dengan sengaja tak mencoblos.
Apabila ada golput maka yakinkan kepada mereka bahwa mereka tak akan bisa mengajukan tuntutan apa pun juga kepada jajaran pemerintah serta lembaga-lembaga perwakilan rakyat mengambil keputusan yang tak sesuai dengan "selera" mereka selama lima tahun mendatang.
Jadi, sekalipun persiapan teknis sudah semakin matang, KPU dan seluruh pemerintah tetap punya kewajiban pokok untuk menekan semaksimal mungkin angka "golput" sehingga kehidupan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) benar-benar kian dewasa.
Baca juga: Euforia pesta demokrasi terfokus pada Pilpres
Baca juga: Sopan santun dalam Debat Capres
Jakarta (ANTARA News) - Tanpa terasa hari pencoblosan surat suara untuk pemilihan calon presiden-calon wakil presiden serta calon anggota legislatif mulai dari DPD, DPR serta DPRD provinsi, kota serta kabupaten sudah di "depan mata" atau sekitar 55 hari lagi yakni pada Hari Rabu 17 April 2019.
Tidak kurang dari 192,8 juta calon pemilih diharapkan bakal mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) untuk memanfaatkan hak suaranya guna memilih kepala negara masa bakti 2019-2024 dan juga para calon anggota lembaga legislatif.
Para pejabat lembaga-lembaga negara ini tentu diharapkan benar-benar menjadi abdi rakyat yang amanah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasti telah "memeras keringat" sejak pagi hingga malam hari demi menyukseskan pesta demokrasi ini.
KPU pusat, KPU provinsi, hingga kabupaten dan kota sudah sejak lama menghitung jumlah calon pemilih, jumlah calon anggota legislatif, menghitung dan memerintahkan pencetakan surat suara.
Selain itu, KPU harus "beradu otot" dengan sebagian besar dari 16 partai politik skala nasional dan empat parpol lokal yang "tak tahu diri dan nekat" karena telah mengajukan puluhan bekas narapidana korupsi untuk menjadi calon anggota DPD RI, DPRD provinsi, kota serta kabupaten.
Sementara itu, menjelang akhir bulan Februari ini, sekitar 275.000 calon pemilih yang diperkirakan tidak akan bisa mencoblos di TPS di sekitar rumahnya karena berbagai alasan seperti sedang belajar, kuliah atau dirawat akibat sakit, juga yang tak bisa menggunakan hak pilihnya karena belum mengurus surat pindahnya yang lazim disebut surat A5.
Akibatnya, KPU masih harus "banting tulang" supaya pesta demokrasi yang jujur, adil dan rahasia ini bisa benar-benar sukses.
Jika masalah-masalah yang bersifat teknis ini sudah benar-benar tuntas maka ada satu pertanyaan yang amat mendasar yang harus dipecahkan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Persoalan itu adalah apakah semua calon pemilih sudah benar-benar tahu gambar siapa yang bakal ditusuknya pada Rabu 27 April tersebut?
Pertama kalinya
Pesta demokrasi ini adalah untuk pertama kalinya bagi Rakyat Indonesia yang harus datang ke TPS untuk sekaligus mencoblos lima kali.
Pada pemilu 2014, rakyat harus dua kali mencoblos yaitu memilih presiden dan wakil presiden dan baru kemudian mencoblos gambar-gambar calon anggota legislatif.
Sedangkan pada 17 April 2019, setiap pemilih akan sekaligus mendapat beberapa surat suara. Jadi bisa dibayangkan betapa repotnya seorang calon pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya pada 17 April nanti.
Untuk warga DKI Jakarta yang tidak memiliki DPRD kota ataupun kabupaten maka tidak bakal mencoblos gambar calon anggota DPRD kota dan kabupaten.
Bagi rakyat atau pemilih yang paling gampang adalah memilih calon presiden dan calon wakil presiden, karena hanya ada dua pasangan yaitu 01 untuk Joko Wododo-Ma`ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Kedua pasangan ini sudah hilir mudik ke begitu banyak daerah pemilihan suara. Dengan gaya dan caranya masing-masing mereka berusaha mencari simpati puluhan juta calon pemilih.
Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan 01 dengan penuh gegap gempita mendatangi ratusan kota dan kabupaten.
Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga tak kalah "galaknya" mendatangi pesantren, pasar dan tempat-tempat lainnya agar bisa menarik perhatian para pemilih.
Kalau kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden ini sudah begitu aktif bahkan agresif untuk mencoba meraih suara jutaan calon pemilih maka bagaimana dengan calon-caloni legislator mulai dari DPD, DPR hingga DPRD?
Kampanye calon legislator bisa dibilang kalah jauh jika dibandingkan dengan kedua pasangan capres dan cawapres tersebut.
Capres-cawapres bisa dibilang bergelimang sekaligus menghabiskan puluhan miliar rupiah dalam meraih dukungan calon pemilihnya.
Sementara itu, di lain pihak hanya beberapa calon anggota legislatif yang "padat modal" sehingga mampu menjangkau demikian banyak daerah pemilihan.
Dengan demikian maka masih banyak calon anggota DPD RI, DPR RI serta DPRD yang harus mengerahkan segala daya dan dananya agar bisa "mencuri hati" rakyat.
Waktu pemilihan tinggal puluhan hari lagi sehingga bakal gemuruhkah kampanye calon anggota legislatif?
Bagi rakyat, pemilihan presiden dan wakil presiden bisa lebih menarik karena hampir setiap hari tampang alias muka mereka relatif lebih gampang dilihat. Sebaliknya foto calon wakil rakyat amat sulit ditemukan.
Pilih apa?
Pesta demokrasi ini amat penting tidak hanya bagi 192,8 juta pemilih tapi juga untuk 262 juta rakyat Indonesia. Jadi idealnya seluruh pemilih menggunakan hak pilihnya.
Karena itu, KPU, Kementerian Dalam Negeri pada hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara harus aktif untuk menggelorakan semangat calon pemilih untuk memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan hak- hak politik mereka.
Jajaran pemerintahan mulai dari tingkat teratas hingga terbawah harus maksimal mengajak rakyat agar mencoblos tanpa ragu sedikitpun juga.
Walaupun ada kelompok golongan putih (golput) yang sengaja tak memilih, KPU dan jajaran pemerintahan harus aktif supaya tak ada lagi orang dengan sengaja tak mencoblos.
Apabila ada golput maka yakinkan kepada mereka bahwa mereka tak akan bisa mengajukan tuntutan apa pun juga kepada jajaran pemerintah serta lembaga-lembaga perwakilan rakyat mengambil keputusan yang tak sesuai dengan "selera" mereka selama lima tahun mendatang.
Jadi, sekalipun persiapan teknis sudah semakin matang, KPU dan seluruh pemerintah tetap punya kewajiban pokok untuk menekan semaksimal mungkin angka "golput" sehingga kehidupan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) benar-benar kian dewasa.
Baca juga: Euforia pesta demokrasi terfokus pada Pilpres
Baca juga: Sopan santun dalam Debat Capres
Pewarta: -
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019